Rabu, 31 Desember 2014

Biografi

BIOGRAFI 4 PAHLAWAN BARU
INDONESIA


Menyambut hari Pahlawan pada 10 November 2014, Presiden Jokowi memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada 4 tokoh bangsa atas jasanya untuk mempertahankan, memperjuangkan, dan mengisi kemerdekaan Indonesia.

Pemberian Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan ini dikeluarkan melalui Keputusan Presiden Nomor 115/TK/Tahun 2014. "Anugerah Pahlawan Nasional kepada mereka sebagai penghargaan dan penghormatan yang tinggi atas jasa-jasanya yang luar biasa, yang semasa hidupnya pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata, atau perjuangan politik atau dalam bidang lain untuk mencapai, merebut, dan mempertahankan, dan mengisi serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa," begitu bunyi Keppresnya.

Berikut biografi keempat tokoh pahlawan nasional :



1. KH Abdul Wahab

 

Abdul Wahab Chasbullah berlatar belakang sebagai sosok yang berasal dari keluarga santri. Ayahnya bernama Hasbulloh Said merupakan sosok pengasuh Pesantren Tambakberas, Jombang, Jawa Timur.

Meski sebagai santri, Wahab punya pola pikir yang kritis karena tergerak hatinya melihat negara yang dijajah. Kemiskinan dan kebodohan akibat penjajah membuatnya menjadi tokoh ulama yang peduli dengan nasib masyarakat. Dia juga dianggap sebagai bapak pendiri Nahdlatul Ulama (NU).

Dari catatannya, Wahab pada 1916 pernah mendirikan organisasi pergerakan yang dinamai Nahdlatul Wathon. Pendirian organisasi ini untuk membangunkan kesadaran rakyat Indonesia. Dua tahun berikutnya, untuk mendukung pergerakannya itu, dia mendirikan Nahdlatut Tujjar.

Pendirian dua organisasi ini agar bisa menjadi wadah penggalangan dana dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Selain itu, untuk memperkuat kesolidan perjuangan umat islam di dunia pesantren. Awal Nahdlatutut Tujjar berdiri, Wahab diplot sebagai sekretaris sekaligus bendahara. Kemudian sebagai ketua dipilih tokoh pendiri NU lainnya, Kiai Hasyim Asyari.

Meski berlatar belakang NU, Wahab juga dianggap sebagai ulama yang bisa mempelopori forum diskusi antar organisasi massa seperti Muhammadiyah. Saat negara dijajah Jepang, dia juga ikut berjuang mengusir penjajah dengan menjadi Panglima Laskar Mujahidin (Hizbullah).Dalam riwayatnya, Wahab juga pernah mendirikan harian umum “Soeara Nahdlatul Oelama” atau Soeara NO dan Berita Nahdlatul Ulama.

Wahab lahir di Jombang, Jawa Timur, 31 Maret 1888. Dia meninggal di usia 83 tahun pada 29 Desember 1971.
  
2. Letjen (Purn) Djamin Ginting

 

Purnawirawan bintang tiga ini lahir di Karo, Sumatera Utara, 12 Januari 1921. Dia meninggal di Ottawa, Kanada, 23 Oktober 1974.

Dalam karier militernya, Djamin punya catatan cemerlang untuk memperjuangkan tanah kelahirannya dari upaya penjajahan. Beberapa jabatan mulai dari Kepala Staf Kodam II/Bukit Barisan hingga Komandan Resimen IV pernah dilakoninya. Mengawali karir sebagai tentara, Djamin pertama masuk lebih dulu ke dalam Pembela Tanah Air atau (PETA). Dia juga pernah menjadi salah seorang tokoh militer di zamannya yang ikut mendirikan terbentuknya Tentara Keamanan Rakyat.

Selaku komandan di medan perang, dia memiliki semangat dan pola pikir yang harus ditanamkan kepada pasukannya agar tidak mudah tergeser dari Karo. Baginya, wilayah Sumatera Utara terutama Karo tidak boleh dikuasai Belanda. Tidak mengherankan saat itu pasukan di bawahnya bisa memunculkan sejumlah tentara yang menjadi pelopor pejuang melawan penjajah di Tanah Sumatera. Sebut saja Kapten Mayor Rim Rim Ginting dan Kapten Selamet Ketaren.

Djamin juga punya catatan penjuangan melancarkan operasi bukit barisan untuk menghadapi pergerakan pemberontak Nainggolan di Medan. Begitu pensiun dari militer, dia menjadi Duta Besar Indonesia untuk Kanada.

3. Sukarni Kartowirjo

 

Pria kelahiran Blitar ini punya peran penting di balik sejarah proses pembacaan teks proklamasi kemerdekaan RI. Saat prosesnya, Sukarni adalah sosok yang mewakili kelompok muda agar pasangan Soekarno-Hatta secepatnya memproklamasikan kemerdekaan negara pada 17 Agustus 1945. Dia tidak menginginkan pasangan itu terlalu berpikir lama menyatakan kemerdekaan negara. Sejarah ini yang membuat kelompok pemuda harus melakukan ‘penculikan’ terhadap kedua pemimpin itu ke Rengasdengklok, Jawa Barat.

Sosoknya sejak kecil digambarkan sebagai orang yang membenci Belanda. Lahir di Blitar, Jawa Timur, 14 Juli 1916, Sukarni punya catatan gemar berkelahi dengan anak-anak Belanda. Hal ini dilakukannya hampir setiap hari. Pola pikir membenci Belanda ini karena tertanam oleh gurunya yang juga tokoh pergerakan Indonesia saat itu, Mohammad Anwar.

Saat usia 14 tahun, dia sudah bergabung dengan organisasi perhimpunan Indonesia Muda. Sejak itulah, sikap pejuang, kritis, dan tanpa kompromi semakin muncul. Sampai ketika Sukarni didaulat menjadi Ketua Pengurus Besar Indonesia Muda. Saat itu Sukarni baru berusia 20 tahun

Menjadi pimpinan kumpulan anak muda yang kritis, Sukarni menjadi incaran pemerintahan kolonial Belanda untuk ditangkap. Namun, dalam usaha penangkapan itu, dia berhasil melarikan diri hingga beberapa tahun ke depan. Tapi, beberapa tahun kemudian Sukarni tertangkap di Balikpapan, Kalimantan Timur. Sukarni juga sempat dijebloskan ke penjara pada 1946 di Madiun. Begitu Jepang coba mengambil alih Indonesia, Sukarni dan beberapa temannya malah dibebaskan. Di era jajahan Jepang, Sukarni sempat bekerja di kantor berita Antara.

Dalam riwayat hidupnya, Sukarni juga pernah ditunjuk sebagai Duta Besar Indonesia untuk Republik Rakyat Tiongkok pada 1961.Dia juga pernah ditunjuk sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung pada 1967. Tokoh yang pernah mendapat penghargaan Bintang Mahaputra ini wafat pada tanggal 7 Mei 1971.

4. Mohammad Mangoendiprojo

 

Pria asal Sragen ini punya peran penting terhadap perjuangan melawan tentara sekutu di Kota Pahlawan tersebut. Kegigihan melawan penjajahan Belanda diikuti Mangoendiprojo dari buyutnya, Setjodiwirjo atau Kyai Ngali Muntoha. Nama ini dikenal sebagai pejuang asal Jawa Timur yang gigih mempertahankan daerah Ngawi dan Banyuwangi.

Meski mengalir darah pejuang, Mangoendiprojo punya pengalaman menjadi pegawai pemerintahan. Beberapa jabatan yang pernah diraih pria
kelahiran Sragen 5 Juli 1905 ini antara lain Asisten Wedana dan Wakil Kepala Jaksa Jombang. Karena rasa nasionalismenya, akhirnya Mangoendiprojo memilih bergabung dengan Pembela Tanah Air (Peta). Tidak lama lulus dari pendidikan, dia pun didapuk sebagai komandan batalyon di Sidoarjo.

Dia juga sempat bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang menjadi cikal Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Sebelumnya di BKR,
Mangoendiprojo sempat menjabat sebagai bendahara Jawa Timur. Tapi, jabatan ini tidak bertahan lama karena ada perselisihan internal.

Dalam karirnya, dia juga pernah diangkat sebagai pimpinan TKR di Jawa Timur. Saat itu, dia punya amanah agar bisa menjalin komunikasi
dengan tentara Sekutu. Namun, kejadian di area Gedung Perjuangan saat itu membuatnya naik pitam.  Saat itu, dia yang disandera memilih melawan sehingga upaya negosiasi dengan tentara sekutu mengalami kebuntuan. Adapun tentara sekutu Inggris dari kesatuan Gurkha enggan menyerahkan diri meskipun sudah terdesak oleh tentara serta pemuda Indonesia. Hal ini lah yang berujung terhadap perang pada 10 November 1945 di Surabaya.

Lima bulan berselang setelah pertempuran di Surabaya, M Mangoendiproko dipromosikan menjadi mayor jenderal dan Kepala Staf TNI. Pensiun dari tentara, dia menerima tawaran sebagai residen (gubernur) pertama Lampung. Mangoendiprojo wafat pada 13 Desember 1988 dan dimakamkan di Taman Pahlawan Bandar Lampung.


1 komentar: